Admin LPPI
- Posted on
- No Comments
Dalam khazanah ajaran Islam, sifat malu (حياء – ḥayā’) menempati kedudukan yang istimewa. Lebih dari sekadar perasaan tidak nyaman atau enggan berbuat sesuatu, malu dipandang sebagai salah satu cabang iman (shu‘bah min al-īmān). Ungkapan ini bukan sekadar kiasan, melainkan sebuah penegasan mendalam tentang keterkaitan erat antara kualitas spiritual seseorang dengan kemampuannya untuk merasa malu.
Akar kata ḥayā’ dalam bahasa Arab mengandung makna kehidupan, kesegaran, dan kebaikan. Dari akar ini, sifat malu dalam konteks keislaman tidak hanya berarti rasa enggan melakukan perbuatan tercela di hadapan manusia, tetapi juga rasa takut dan malu kepada Allah SWT yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Seorang mukmin yang memiliki keimanan yang kuat akan senantiasa menyadari kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupannya. Kesadaran ini akan menumbuhkan rasa malu untuk melanggar perintah-Nya, melakukan perbuatan dosa, atau bahkan lalai dalam beribadah. Hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa :
الْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ
Artinya: “Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hiban, dan Al Hakim).
Malu adalah bagian dari iman mengandung makna yang sangat dalam dan luas. Kalimat ini mengisyaratkan bahwa rasa malu merupakan salah satu fondasi penting dalam membangun keimanan seseorang. Keberadaan rasa malu dalam hati seorang muslim menjadi tolok ukur kualitas imannya. Semakin kuat rasa malu seseorang terhadap Allah SWT dan sesama manusia, maka semakin kokoh pula keimanannya.
Menipisnya rasa malu dalam diri seseorang merupakan indikasi menurunnya kadar iman dalam hatinya. Ketika rasa malu mulai pudar, seseorang akan lebih mudah terjerumus dalam perbuatan dosa dan kemaksiatan tanpa merasa risih atau bersalah. Perbuatan-perbuatan yang seharusnya dianggap tercela dan dihindari, justru menjadi hal yang biasa dan lumrah baginya. Oleh karena itu, menjaga dan memupuk rasa malu adalah esensi penting dalam mempertahankan keimanan dan moralitas seorang muslim.
Iman dan malu adalah dua sisi mata uang dalam ajaran Islam, saling berkaitan erat dan memperkuat satu sama lain. Dengan demikian, malu menjadi filter moral yang menjaga keimanan tetap bersih dan terpelihara. Keterkaitan ini menciptakan pribadi muslim yang tidak hanya taat secara ritual, tetapi juga memiliki akhlak mulia yang terpancar dari kesadaran akan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap aspek kehidupannya. Dari penjabaran diatas, hendaknya kita menjaga rasa malu dalam diri kita sebagai seorang mukmin, Adapun Langkah atau cara yang tepat dalam mempertahankan rasa malu adalah sebagai berikut :
1. Selalu berbuat Ihsan
Berbuat ihsan tidak sekadar bermakna berbuat baik kepada sesama, melainkan juga mencakup dimensi spiritual yang kuat, yaitu melakukan segala sesuatu dengan kesadaran penuh bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi. Rasulullah SAW menerangkan secara gamblang tentang konsep ihsan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab RA, yang dikenal sebagai hadits Jibril.
قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya : Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”
Ketika seorang muslim senantiasa berupaya melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, seolah-olah ia melihat Allah atau setidaknya menyadari bahwa Allah selalu mengawasinya, maka rasa malu akan secara otomatis terpelihara. Kesadaran ini akan mencegahnya dari perbuatan tercela dan mendorongnya untuk selalu berbuat yang diridhai Allah.
2. Berinteraksi dengan orang baik
Berinteraksi secara intens dan positif dengan individu-individu yang dikenal memiliki integritas moral dan budi pekerti luhur memiliki dampak transformatif terhadap karakter seseorang, termasuk dalam menumbuhkan dan memelihara rasa malu yang sehat. Lingkungan sosial memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk nilai dan perilaku. Ketika kita dikelilingi oleh orang-orang yang menjunjung tinggi etika, kejujuran, dan kesopanan, kita secara tidak langsung terpapar pada standar perilaku yang positif.
Interaksi yang sehat memungkinkan terjadinya pertukaran nilai dan pandangan. Diskusi dengan orang-orang berakhlak mulia dapat membuka wawasan tentang pentingnya menjaga kehormatan diri dan menghindari perbuatan yang dapat merusak citra diri maupun hubungan dengan sesama dan Sang Pencipta. Rasa malu yang mereka tunjukkan ketika melakukan kesalahan atau lalai dalam kewajiban secara tidak langsung menanamkan pemahaman bahwa rasa malu adalah bagian integral dari kemuliaan akhlak.
3. Mengingat akibat perbuatan
Merenungkan konsekuensi dari setiap tindakan yang kita perbuat memiliki peran krusial dalam menumbuhkan kesadaran moral dan memicu rasa malu ketika terlintas keinginan untuk melakukan sesuatu yang buruk atau tidak pantas. Proses kontemplasi ini melibatkan proyeksi mental ke masa depan, membayangkan dampak negatif yang mungkin timbul akibat perbuatan kita, baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar. Ketika kita secara sadar mempertimbangkan potensi kerugian, rasa tidak nyaman dan penyesalan akan muncul, yang pada gilirannya menjelma menjadi rasa malu sebelum perbuatan itu benar-benar dilakukan. Sehingga rasa malu menjadi benteng yang efektif dalam mencegah kita terjerumus dalam perbuatan yang merugikan dan tidak diinginkan.
4. Membaca dan merenungkan Al-Qur’an
Membaca dan merenungkan ayat-ayat suci Al-Qur’an merupakan fondasi penting dalam membangun pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai moral dan etika yang luhur, yang pada gilirannya menumbuhkan rasa malu yang benar dalam diri seorang muslim. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup utama menyajikan kisah-kisah umat terdahulu, perintah dan larangan Allah SWT, serta gambaran tentang konsekuensi dari perbuatan baik dan buruk. Melalui tadabbur atau perenungan yang mendalam terhadap makna ayat-ayatnya, seorang muslim akan semakin menyadari keagungan Allah, kelemahan dirinya, serta batasan-batasan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, interaksi yang aktif dan reflektif dengan Al-Qur’an menjadi sumber utama pembentukan karakter mulia dan penumbuh rasa malu yang menjadi penjaga keimanan.
Keterkaitan yang erat antara rasa malu dan keimanan ini melahirkan pribadi muslim yang ideal, yaitu individu yang tidak hanya taat dalam menjalankan ibadah ritual, tetapi juga memiliki akhlak mulia yang terpancar dalam setiap interaksi dan perilakunya. Dengan demikian, kesadaran akan kehadiran dan pengawasan Allah yang ditumbuhkan oleh rasa malu akan mewujudkan integritas diri yang kokoh, kejujuran, empati, dan berbagai sifat terpuji lainnya.
Penulis: Luqman Bagus Kurniawan (Guru Ismuba SMP UMP)
Sumber :
Tafsir hadits Arba’in
https://muhammadiyah.or.id/2020/08/anjuran-berbuat-ihsan-2/